Rabu, 12 Maret 2014

Tabarruk (Ngalap Barokah), Dalil-dalilnya dan Contoh-contoh Tabarruk


TABARRUK (NGALAP BAROKAH)


Oleh: Ustadz Abu Hilya


Tabarruk adalah diantara amaliyah yang berlaku dalam kalangan ummat islam khususnya di Indonesia . Dalam kalangan santri tradisi tersebut biasanya berupa menghabiskan makanan atau minuman dari sisa para kiyai, ada juga yang bertabarruk dengan baju, sarung, tasbih atau apapun peninggalan dari orang-orang sholih. Ada pula yang bertabarruk dengan cara berdo’a di tempat yang pernah digunakan oleh orang-orang sholih beribadah, seperti pesujudan Sunan Bonang, pesujudan Syekh Subakir dan yang lain. Bahkan ada pula yang bertabarruk dengan meminum air sumur peninggalan orang-orang sholih, baik untuk kesembuhan atau tujuan-tujuan yang lain.

Sebelum kami sampaikan dalil–dalil dan bukti-bukti yang menunjukkan diperbolehkannya tabarruk, perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwasannya tabarruk tidak lain adalah tawassul kepada Alloh dengan obyek yang dijadikan tabarruk baik peninggalan, tempat atau orang.

Adapun tabarruk dengan orang-orang sholih, maka karena kami meyakini keutamaan dan kedekatan mereka kepada Alloh dengan tetap meyakini ketidak mampuan mereka memberi kebaikan atau menolak keburukan kecuali atas izin Alloh.

Adapun tabarruk dengan peninggalan-peninggalan, maka kami meyakini peninggalan tersebut dinisbatkan kepada orang-orang sholih, di mana kemuliaan peninggalan itu berkat mereka, dihormati, diagungkan dan dicintai karena mereka, dan bukan karena bendanya.

Adapun tabarruk dengan tempat, maka substansi tempat sama sekali tidak memiliki keutamaan dilihat dari statusnya sebagai tempat. Tempat memiliki keutamaan karena kebaikan dan ketaatan yang berada dan terjadi di dalamnya seperti sholat, puasa dan semua bentuk ibadah yang dilakukan oleh para hamba Alloh yang sholih. Sebab karena ibadah mereka rohmat turun pada tempat, malaikat hadir dan kedamaian meliputinya. Inilah keberkahan yang dicari dari Alloh di tempat-tempat yang dijadikan tujuan tabarruk.

Keberkahan ini dicari dengan berada di tempat-tempat tersebut untuk bertawajjuh kepadaAlloh, berdoa, beristighfar dan mengingat peristiwa yang terjadi di tempat-tempat tersebut dari kejadian-kejadian besar dan peristiwa-peristiwa mulia yang menggerakkan jiwa dan membangkitkan harapan dan semangat untuk meniru pelaku peristiwa itu yang notabene mereka adalah orang-orang yang berhasil dan sholih.

A. DALIL-DALIL TABARRUK

Sebelum kami sampaikan contoh-contoh yang menjadi dalil diperkenan-kannya Tabarruk (ngalap barokah), perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwasannya berdasarkan ketetapan Alloh dan Rosul-Nya ada diantara makhluk -Nya yang dikehendaki oleh Alloh memiliki barokah, diantaranya adalah:


- Ka’bah Yang diberkahi, sebagaimana firman Alloh :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ


“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitulloh) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (QS, Ali Imron : 96)


- Air langit yang diberkahi, sebagaimana firman Alloh :
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ


“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen.” (QS. 24 : 35)


- Barokah ada pada para Pembesar, sebagaimana sabda Rosululloh :
عَنْ ابْنِ عَبَّاس قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ (( الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ ))


Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Rosululloh shollalloho ‘alaihi wasallam bersabda : “Barokah itu bersama orang-orang bersar diantara kalian.” (HR. Al Hakim dan Ibnu Hibban) Al Hakim berkata : “Hadits ini shohih menurut syarat Al Bukhori, namun beliau tidak meriwayatkannya”. Adz Dzahabi menyetujuinya.

B. CONTOH-CONTOH TABARRUK

1. Tabarruk Dengan Orang-Orang Mulia

a. Mencium Kulit Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam

Diantara praktek tabarruk yang berlaku di sekitar kita adalah menyentuh dan mencium tangan orang-orang sholih. Tabarruk dengan praktek semacam ini didasarkan pada beberapa hadits, diantaranya adalah :

Imam Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shohih bersambung sampai kepada Abi Laila, ia menuturkan sebuah kisah sbb :
كَانَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجُلاً صَالِحاً ضَاحِكاً مَلِيْحاً ، فَبَيْنَمَا هُوَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَيُضْحِكُهُمْ ، فَطَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ ، فَقَالَ : أَوْجَعْتَنِي قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْتَصِ قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيْصاً وَلَمْ يَكُنْ عَلَيَّ قَمِيْصٌ ،قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيْصَهُ فَاحْتَضَنَهُ ثُمَّ جَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ ، فَقَالَ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَارَسُوْلَ اللهِ ! أَرَدْتُ هَذَا . هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ ، وَوَافَقَهُ الذَّهَبِي فَقَالَ : صَحِيْحٌ.

Suatu ketika Usaid bin Hudloir (seorang sahabat yangsholih dan humoris), bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Usaid menuturkan cerita yang membuat para sahabat tertawa hingga Rosululloh memukul pinggangnya. Usaid pun mengadu :“Engkau telah membuatku merasa sakit,” kata Usaid.

“Silahkan membalas,” jawab Nabi.

“Wahai Rosululloh, engkau mengenakan gamis sedang saya tidak,” ujar Usaid. Abi Laila berkata :“kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melepas gamisnya dan Usaid merangkul beliau dan menciumi pinggang beliau.”

“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rosululloh, saya menginginkan ini,” kata Usaid. (HR. Al Hakim)

b. Mencium Tangan Orang Yang Pernah Berjabat Tangan Dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam

Yahya ibnu Al Harits Adz Dzimari berkata:
لَقِيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ الْأَسْقَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْتُ : بَايَعْتَ بِيَدِكَ هَذِهِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ. قُلْتُ : أَعْطِنِي يَدَكَ أُقَبِّلُهَا ، فَأَعْطَانِيْهَا فَقَبِّلْتُهَا

Saya pernah berjumpa dengan Watsilah ibnu Al Asqo’ –rodhiyallohu ‘anhu-. “Apakah engkau berbai’at kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dengan tanganmu ini?” tanyaku. “Benar” jawab Watsilah. “Julurkan tanganmu, aku akan menciumnya !” kataku. Ia kemudian menjulurkan tangannya dan aku mencium tangan tersebut. (HR. At Thobaroni)

c. Pengamatan ‘Urwah Terhadap Para Sahabat Yang Bertabarruk Dengan Dahak Dan Bekas Air Wudhu Nabi

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam shohih-nya, disebutkan bahwa ‘Urwah melakukan pengamatan kepada para sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Dari hasil pengamatannya tersebut ‘Urwah mendapati sikap para sahabat sebagai berikut :
وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُوَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ

“Demi Alloh,” kata ‘Urwah, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tidak mengeluarkan dahak kecuali dahak itu jatuh pada telapak tangan salah satu sahabat yang kemudian ia gosokkan pada wajah dan kulitnya. Jika beliau memberikan perintah maka mereka segera mematuhi perintahnya.Jika beliau berwudlu maka nyaris mereka berkelahi untuk mendapat air sisa wudlu’nya.”

Beberapa kisah diatas hendaknya kita fahami tidak hanya dari konten isinya semata, akan tetapi hendaknya kita renungkan pula motif yang melatar-belakanginya. Kami yakin Usaid tidaklah mencium kulit Nabi hanya karena kulit beliau, atau para sahabat menadah dahak Nabi hanya memandang dahaknya, atau berebut air sisa wudhu beliau hanya karena airnya, akan tetapi kulit, dahak, atau air sisa wudhu tersebut adalah perkara yang dinisbatkan kepada seorang hamba yang mempunyai kedudukan paling tinggi di sisi Alloh.

d. Pandangan As Syaikh Ibnu Taimiyah Tentang Barokah Para Wali
فَبَرَكَاتُ أَوْلِيَاءِ اللهِ الصَّالِحِينَ بِاعْتِبَارِ نَفْعِهِمْ لِلْخَلْقِ بِدُعَائِهِمْ إلَى طَاعَةِ اللهِ وَبِدُعَائِهِمْ لِلْخَلْقِ وَبِمَا يُنْزِلُ اللهُ مِنْ الرَّحْمَةِ وَيَدْفَعُ مِنْ الْعَذَابِ بِسَبَبِهِمْ حَقٌّ مَوْجُودٌ فَمَنْ أَرَادَ بِالْبَرَكَةِ هَذَا وَكَانَ صَادِقًا فَقَوْلُهُ حَقٌّ. وَأَمَّا ” الْمَعْنَى الْبَاطِلُ ” فَمِثْلُ أَنْ يُرِيدَ الْإِشْرَاكَ بِالْخَلْقِ : مِثْلُ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ مَقْبُورٌ بِمَكَانِ فَيَظُنُّ أَنَّ اللهَ يَتَوَلَّاهُمْ لِأَجْلِهِ وَإِنْ لَمْ يَقُومُوا بِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُولِهِ فَهَذَا جَهْلٌ

Keberkahan para Wali Alloh yang sholih dari aspek manfaat yang diberikan mereka dengan ajakan mereka untuk taat kepada Alloh, mendoakan makhluk dan diturunkannnya rahmat oleh Alloh serta ditolaknya adzab berkat eksistensi mereka adalah fakta yang konkrit. Barangsiapa yang menghendaki keberkahan dalam konteks demikian dan ia jujur maka ucapannya benar.

Adapun pengertian yang salah itu semisal jika yang mengungkapkannya bermaksud menyekutukan Alloh dengan makhluk, (Majmu’ul Fatawa, 11/114)
2. Tabarruk Dengan Benda Atau Peninggalan Orang-Orang Mulia

Praktek tabarruk lain yang terjadi disekitar kita adalah ; tabarruk (ngalap barokah) dengan benda atau perkara yang menjadi peninggalan orang-orang sholih. Sering kita jumpai di pemakaman para wali, orang-orang yang berziyarah mengambil air yang bersumber dari sumur atau bekas tempat wudhu pening-galan sang wali, mereka meminum dengan maksud-maksud tertentu, sebagian ada yang berharap kesembuhan, diangkat derajatnya, atau maksud yang lain.

Ada pula yang menyimpan peninggalan orang-orang sholih berupa baju, sajadah, cincin atau yang lain. Adakah semua ini memiliki dasar hukum yang memperkenankan praktek tabarruk sebagaimana dimaksud diatas ? berikut kami haturkan beberapa hadits yang menjadi contoh sekaligus dalil atas praktek tabarruk dengan benda atau peninggalan orang-orang sholih.

a. Tabarruk Dengan Sumur Peninggalan Nabi Sholih alaihis salaam

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam shohihnya, bahwa Abdulloh Ibnu Umar bercerita kepada Nafi’ :
أَنَّ النَّاسَ نَزَلُوا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحِجْرِ أَرْضِ ثَمُودَ فَاسْتَقَوْا مِنْ آبَارِهَا وَعَجَنُوا بِهِ الْعَجِينَ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُهَرِيقُوا مَا اسْتَقَوْا وَيَعْلِفُوا الْإِبِلَ الْعَجِينَ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْتَقُوا مِنْ الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَرِدُهَا النَّاقَةُ

Bahwasannya para sahabat bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah singgah di Al Hijr (tempat yang pernah dihuni kaum Tsamud, yakni kaum Nabi Sholih alaihis salaam).

Para sahabat mengambil air dari sumur-sumur kaum Tsamud dan membuat adonan roti dengan air sumur tersebut. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menumpahkan air yang mereka ambil dan memberikan adonan roti kepada unta, dan Rosululloh menyuruh mereka mengambil air dari sumur yang pernah didatangi unta Nabi Sholih. (HR Muslim)

Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas, beliau berkata : diantara faedah yang terkandung dalam hadits ini adalah ; hendaknya menjauhi sumur peninggalan orang-orang dholim serta (dianjurkan) bertabarruk (ngalap barokah) dengan sumur orang-orang sholih. (Syarah Muslim, vol. 18 hal. 112)

b. Tabarruk Dengan Bekas Jubah Nabi Untuk Pengobatan

Abdulloh -pembantu Asma’ binti Abu Bakar- disuruh menghadap Abdulloh Ibn Umar guna menanyakan tiga hal; yakni tentang puasa bulan Rojab, tentang pelana dari bahan kayu Urjuwan dan tentang pakaian dari sutera. Sekembali dari mengahadap Abdulloh ibnu Umar, sang pembantu Asma’ tersebut menghadap kepada Asma’ binti Abu Bakar dan mengkhabarkan jawaban dari Abdulloh Ibnu Umar.
فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةٍ لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا

Kemudian Asma’ mengeluarkan jubah hijau Persia yang bertambalkan sutera dan kedua celahnya dijahit dengan sutera juga.

Kemudian Asma’ berkata : “Ini adalah jubah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, jubah tersebut disimpan oleh ‘Aisyah. Saat ia wafat jubah ini aku ambil. Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah mengenakan jubah ini dan saya membasuhnya untuk orang-orang sakit dalam rangka memohon kesembuhan dengannya.” (HR. Muslim)

Dalam hadits diatas kita dapati adanya keterangan bahwa Asma’ binti Abu Bakar menggunakan air bekas cucian (basuhan) jubbah Nabi untuk orang-orang sakit yang mencari kesembuhan dengannya.

c. Tabarruk Dengan Rambut Nabi Untuk Pengobatan

Adalah Utsman Ibn Abdillah Ibn Mauhab bercerita :
أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَبِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ وَقَبَضَ إِسْرَائِيلُ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ قُصَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الْإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ فَاطَّلَعْتُ فِي الْجُلْجُلِ فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا

“Aku pernah diutus keluargaku untuk menemui Ummu Salamah –istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan membawa wadah berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata ‘Utsman. (HR. Al Bukhori)

Al Hafidh Ibnu Hajar, ketika menjelaskan hadits diatas beliau berkata :
وَالْمُرَادُ أَنَّهُ كَانَ مَنْ اِشْتَكَى أَرْسَلَ إِنَاءً إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَتَجْعَلُ فِيْهِ تِلْكَ الشَّعَرَاتِ وَتَغْسِلُهَا فِيْهِ وَتُعِيْدُهُ فَيَشْرَبُهُ صَاحِبُ الْإِنَاءِ أَوْ يَغْتَسِلُ بِهِ اِسْتِشْفَاءً بِهَا فَتَحْصُلُ لَهُ بَرَكَتُهَا

Maksud hadits adalah : Bahwasannya jika seseorang mengeluh (karena penyakit) maka ia mengirim wadah kepada Ummu Salamah, kemudian Ummu Salamah meletakkan rambut-rambut Nabi dan membasuhnya di dalam wadah tersebut, kemudian wadah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Selanjutnya sang pemilik wadah tersebut meminum atau membasuh badannya dengan air (bekas basuhan rambut Nabi) dengan tujuan mengharap kesembuhan, maka ia mendapat barokah dari rambut tersebut. (Fathul Bari, vol. 10 hlm. 353)

d. Para Sahabat Berebut Rambut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad sampai kepada Anas bin Malik, ia berkata :
لَمَّا حَلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ بِمِنًى أَخَذَ شِقَّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنَ بِيَدِهِ فَلَمَّا فَرَغَ نَاوَلَنِي فَقَالَ يَا أَنَسُ انْطَلِقْ بِهَذَا إِلَى أُمِّ سُلَيْمٍ فَلَمَّا رَأَى النَّاسُ مَا خَصَّهَا بِهِ مِنْ ذَلِكَ تَنَافَسُوا فِي الشِّقِّ الْآخَرِ هَذَا يَأْخُذُ الشَّيْءَ وَهَذَا يَأْخُذُ الشَّيْءَ

“Saat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mencukur rambut kepalanya di Mina beliau memegang sisi kanan kepala dengan tangannya. Setelah selesai dicukur beliau memberikan rambut kepada saya.

“Wahai Anas, Pergilah dengan membawa rambut ini kepada Ummu Sulaim.” kata beliau,

“Ketika orang-orang melihat apa yang diberikan secara khusus kepada kami maka mereka berebutan memungut rambut sisi kiri kepala. Si A mengambil, si B juga, dst. (HR. Ahmad)

e. Kholid Ibn Walid Dan Rambut Nabi

Ja’far ibn Abdillah ibn Al Hakam bercerita :
أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ فَقَدَ قَلَنْسُوَةً لَهُ يَوْمَ الْيَرْمُوكْ فَقَالَ : اُطْلُبُوْهَا فَلَمْ يَجِدُوْهَا فَقَالَ : اُطْلُبُوْهَا فَوَجَدُوْهَا فَإِذًا هِيَ قَلَنْسُوَةٌ خَلَقَةٌ فَقَالَ خَالِدٌ : اِعْتَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَلَقَ رَأْسَهُ فَابْتَدَرَ النَّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إِلَى نَاصِيَتِهِ فَجَعَلْتُهَا فِي هَذِهِ الْقَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أَشْهَدْ قِتَالًا وَهِيَ مَعِي إِلَّا رُزِقْتُ النَّصْرَ

bahwa Kholid ibnu Al Walid kehilangan peci miliknya saat perang Yarmuk. “Carilah peciku,” perintah Kholid kepada pasukannya.

Mereka mencari peci tersebut namun gagal menemukannya. “Carilah peci itu,” kata Kholid lagi.

Akhirnya peci itu berhasil ditemukan. Ternyata peci itu peci yang sudah lusuh bukan peci baru.

Dan ketika peci tersebut ditemukan, Kholid berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melaksanakan umroh lalu beliau mencukur rambut kepalanya, kemudian orang-orang segera menghampiri bagian-bagian rambut beliau. Lalu saya berhasil merebut rambut bagian ubun-ubun yang kemudian saya taruh di peci ini. Saya tidak ikut bertempur dengan mengenakan peci ini kecuali saya diberi kemenangan.” (HR. At Thobaroni dalam Al Kabir)

f. Imam Ahmad bin Hanbal Dan Rambut Nabi

Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan kebiasaan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya sebagai berikut :
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ: رَأَيْتُ أَبِي يَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ شَعْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُهَا عَلَى فِيْهِ يُقَبِّلُهَا.وَأَحْسِبُ أَنَّي رَأَيْتُهُ يَضَعُهَا عَلَى عَيْنِهِ، وَيُغَمِّسُهَا فِي الْمَاءِ وَيَشْرَبُهُ يَسْتَشْفِي بِهِ.

Abdullah putra Imam Ahmad bercerita : “Saya melihat ayah mengambil sehelai rambut dari rambut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu beliau meletakkan pada mulutnya seraya menciumi rambut tersebut. Saya rasa saya pernah melihat ayah meletakkan rambut itu pada matanya, mencelupkan rambut tersebut ke dalam air dan meminumnya serta memohon kesembuhan dengannya.” (Siyaru A’lamin Nubalaa’ vol. XI hlm. 212)

g. Tabarruk Dengan Keringat Nabi sollallohu ‘alaihi wasallam
عَنْ عُثْمَانَ عَنْ أَنَسٍأَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ كَانَتْ تَبْسُطُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِطَعًا فَيَقِيلُ عِنْدَهَا عَلَى ذَلِكَ النِّطَعِ قَالَ فَإِذَا نَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَتْ مِنْ عَرَقِهِ وَشَعَرِهِ فَجَمَعَتْهُ فِي قَارُورَةٍ ثُمَّ جَمَعَتْهُ فِي سُكٍّ قَالَ فَلَمَّا حَضَرَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الْوَفَاةُ أَوْصَى إِلَيَّ أَنْ يُجْعَلَ فِي حَنُوطِهِ مِنْ ذَلِكَ السُّكِّ قَالَ فَجُعِلَ فِي حَنُوطِهِ

Dari ‘Utsman dari Anas : bahwa Ummu Sulaim menggelar alas dari kulit untuk Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau tidur siang dengan menggunakan alas itu di tempat Ummu Sulaim. “Jika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam telah tertidur, maka Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau lalu dimasukkan dalam botol kemudian dicampurkan ke dalam minyak wangi sukk.” kata Anas,

Utsman berkata : “Menjelang wafat, Anas ibnu Malik berwasiat kepadaku agar rambut dan keringat Nabi dimasukkan dalam ramuan obat yang dimasukkan pada kafannya, dari wewangian sukk. Kemudian rambut dan keringat itu ditaruh di ramuan obatnya yang dimasukkan pada kafan.” (HR. Bukhori)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَدَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِنْدَنَا فَعَرِقَ وَجَاءَتْ أُمِّي بِقَارُورَةٍ فَجَعَلَتْ تَسْلِتُ الْعَرَقَ فِيهَا فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا هَذَا الَّذِي تَصْنَعِينَ قَالَتْ هَذَا عَرَقُكَ نَجْعَلُهُ فِي طِيبِنَا وَهُوَ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيبِ

Dari Anas bin Malik, ia berkata : “Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam masuk menemui kami lalu beliau tidur siang dan berkeringat. Kemudiaan ibuku datang membawa botol lalu memasukkan keringat Nabi ke dalamnya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- pun akhirnya terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim !, apa yang kamu lakukan ?”

“Ini adalah keringatmu yang aku campurkan pada wewangianku. Keringat ini adalah wewangian paling harum,” jawab Ummu Sulaim. (HR. Muslim)

h. Tabarruk Dengan Peti Berisi Peninggalan Nabi Musa
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka; ‘ Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun,’ tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS, Al Baqoroh : 248)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menuturkan beberapa riwayat dan pendapat tentang isi Tabut (peti) tersebut : “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurot dan beberapa baju Nabi Harun. Sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.” (Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313)

Selanjutnya dalam kitabnya yang lain Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan kisah yang berkaitan dengan firman Alloh diatas sebagai berikut :

Dahulu Bani Isroil jika berperang dengan salah seorang musuh, maka mereka senantiasa membawa Tabutul Mitsaq (peti perjanjian) yang berada dalam Qubbatuz Zaman sebagaimana telah dijelaskan. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari Tabutul Mitsaq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqolan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebut Tabutul Mitsaq dari tangan mereka. (Al Bidayah Wan Nihayah, vol. 2 hal. 6)

i. Khulafa’ur Rosyidin Dan Tombak Besi

Imam Al Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang sanadnya sampai kepada ‘Urwah, bahwa Zubair bercerita kepadanya tentang peristiwa yang dialaminya dalam perang badar. Dalam perang tersebut Zubair berhasil membunuh Ubaidah bin Sa’id bin ‘Ash dengan tombak besinya. ‘Urwah berkata :
فَسَأَلَهُ إِيَّاهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَاهُ فَلَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا ثُمَّ طَلَبَهَا أَبُو بَكْرٍ فَأَعْطَاهُ فَلَمَّا قُبِضَ أَبُو بَكْرٍ سَأَلَهَا إِيَّاهُ عُمَرُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا فَلَمَّا قُبِضَ عُمَرُ أَخَذَهَا ثُمَّ طَلَبَهَا عُثْمَانُ مِنْهُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا فَلَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ وَقَعَتْ عِنْدَ آلِ عَلِيٍّ فَطَلَبَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ فَكَانَتْ عِنْدَهُ حَتَّى قُتِلَ

Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam meminta tombak tersebut dari Zubair, maka ia pun memberikannya. Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam wafat, Zubair mengambil kembali tombak tersebut, kemudian Kholifah Abu Bakar memintanya dan Zubair pun memberikannya. Selanjutnya ketika Kholifah Abu Bakar wafat Kholifah Umar Ibn Khotthob meminta tombak tersebut dari Zubair, dan ia pun memberikannya kepada Umar. Setelah Umar wafat Zubair mengambilnya, kemudian Kholifah Utsman Ibn Affan memintanya dan Zubair pun memberikan tombak tersebut kepada Kholifah Utsman. Selanjutnya ketika Kholifah ‘Utsman Ibn Affan terbunuh, tombak tersebut berada pada keluarga Kholifah Ali Ibn Abi Tholib, kemudian Abdulloh putra Zubair memintanya dan selanjutnya tombak tersebut berada di sisinya hingga ia terbunuh. (HR. Al Bukhori)

Dalam hadits diatas kita dapati tentang perhatian para Khulafaur Rosyidin –rodhiyallohu ‘anhum- terhadap tombak besi yang pernah berjasa dalam perang badar yang kemudian disimpan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam.

j. Khulafa’ur Rosyidin Dan Cincin Nabi

Imam Al Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang sanadnya sampai kepada Abdulloh Ibnu Umar, ia berkata :
اتَّخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فِي يَدِهِ ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ عُمَرَ ثُمَّ كَانَ بَعْدُ فِي يَدِ عُثْمَانَ حَتَّى وَقَعَ بَعْدُ فِي بِئْرِ أَرِيسَ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memakai cincin yang terbuat dari kayu. Cincin tersebut ada pada Nabi, setelah itu ada pada tangan Abu Bakar, kemudian setelah itu ada pada tangan Umar Ibn Khotthob, selanjutnya ada pada tangan Utsman Ibn Affan, hingga akhirnya cincin tersebut jatuh ke dalam sumur Aris. Pada cincin tersebut terdapat guratan tulisan : Muhammad Rosululloh . (HR. Al Bukhori)

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Dalam riwayat An Nasai disebutkan ; bahwasan-nya Utsman bin Affan berusaha mencari cincin tersebut namun tidak menemu-kannya.” (Fathul Bari, vol. 10 hlm. 313)

Dalam Umdatul Qori, Al Hafidz Badruddin Al ‘Ain menjelaskan, bahwa sumur tersebut berada di kebun dekat masjid Qubba’. (Umdatul Qori, vol. 22 hlm. 31)

Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki berkata : Sumur tersebut sekarang disebut Bi’rul Khotam (sumur cincin). (Mafaahim Yajibu An Tushohhah)

Dalam konteks hadits diatas, bukan barokah sebuah cincin yang menjadi tema, akan tetapi kita dapati tentang bagaimana sikap khulafa’ur rosyidin terhadap barang yang pernah di pakai Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

k. Tabarruk Dengan Bekas Air Wudhu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam Untuk Pembangunan Masjid
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَخَرَجْنَا وَفْدًا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ وَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّ بِأَرْضِنَا بِيعَةً لَنَا فَاسْتَوْهَبْنَاهُ مِنْ فَضْلِ طَهُورِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَتَمَضْمَضَ ثُمَّ صَبَّهُ فِي إِدَاوَةٍ وَأَمَرَنَا فَقَالَ اخْرُجُوا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوا بِيعَتَكُمْ وَانْضَحُوا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوهَا مَسْجِدًا قُلْنَا إِنَّ الْبَلَدَ بَعِيدٌ وَالْحَرَّ شَدِيدٌ وَالْمَاءَ يَنْشُفُ فَقَالَ مُدُّوهُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَزِيدُهُ إِلَّا طِيبًا

Tholq ibnu ‘Ali berkata: “Kami pergi sebagai delegasi untuk menghadap Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Lalu kami membai’at beliau, sholat bersamanya dan mengabarkan bahwa di daerah kami ada sebuah sinagog milik kami. Kemudian kami meminta sisa air wudlu beliau.

Selanjutnya beliau meminta didatangkan air lalu berwudlu, berkumur terus menumpahkan sisa air wudlu itu untuk kami pada kantong yang terbuat dari kulit dan memberikan perintah kepada kami, “Pergilah kalian!, Jika kalian telah tiba di daerah kalian robohkan sinagog itu dan percikilah tempat sinagog itu dengan air sisa wudlu ini dan jadikanlah tempat sinagog itu sebagai masjid.”

Kami berkata: “Sesungguhnya daerah kami jauh, cuaca sangat panas dan air ini bisa kering.”

Nabi kemudian memerintahkan : “Tambahkanlah air, karena tambahan air akan semakin membuatnya wangi” (HR. An Nasai)

Dalam peristiwa ini pasti ada rahasia kuat yang tertanam dalam sanubari mereka yang mendorong untuk meminta sisa air wudlu secara khusus, padahal kota Madinah penuh dengan air, bahkan daerah mereka juga penuh dengan air. Lalu mengapa mereka bersusah payah membawa sedikit air sisa wudlu dari satu daerah ke daerah lain yang jaraknya jauh, perjalanan menempuh waktu lama, dan di bawah sengatan panas sinar matahari ? 

l. Tabarruk Dengan Gelas Yang Pernah Digunakan Nabi

Imam Al Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang sanadnya sambung sampai kepada Abu Burdah, ia berkata :
قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَامٍ فَقَالَ لِي انْطَلِقْ إِلَى الْمَنْزِلِ فَأَسْقِيَكَ فِي قَدَحٍ شَرِبَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ صَلَّى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ فَسَقَانِي سَوِيقًا وَأَطْعَمَنِي تَمْرًا وَصَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِهِ

“Saya tiba di Madinah dan disambut oleh Abdulloh ibnu Salam.”

“Mari pergi ke rumah, engkau akan kuberi minum dalam gelas yang pernah digunakan minum Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan engkau sholat di masjid yang Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sholat di dalamnya,” ajak Abdulloh ibnu Salam.

Akhirnya saya pergi bersama Abdulloh dan ia memberi saya minum, memberi makan kurma dan sholat di masjid Nabi. (HR. Bukhori)

Coba kita perhatikan sikap Abdulloh Ibn Salam, sebuah sikap yang secara tersirat menunjukkan bahwa gelas yang pernah digunakan Nabi dan tempat yang pernah digunakan Nabi sholat adalah perkara yang istimewa baginya.
3. Tabarruk Dengan Tempat Peninggalan Orang-Orang Mulia

Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa yang dimaksud tabarruk dengan tempat yang menjadi peninggalan orang-orang sholih adalah beribadah, berdo’a di tempat tersebut. Tempat tersebut sejatinya tidak memiliki keistimewaan apapun dipandang dari keberadaannya sebagai tempat, akan tetapi tempat tersebut dipenuhi rohmat dan para malaikat karena sebelumnya telah dipergunakan orang-orang sholih untuk beribadah kepada Alloh.

a. Tabarruk Dengan Tempat Yang Pernah Digunakan Nabi Sholat

Imam Al Bukhori meriwayatkan sebuah hadits yang sanadnya sambung sampai kepada Abu Burdah, ia berkata :
قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَامٍ فَقَالَ لِي انْطَلِقْ إِلَى الْمَنْزِلِ فَأَسْقِيَكَ فِي قَدَحٍ شَرِبَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ صَلَّى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ فَسَقَانِي سَوِيقًا وَأَطْعَمَنِي تَمْرًا وَصَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِهِ

“Saya tiba di Madinah dan disambut oleh Abdulloh ibnu Salam.”

“Mari pergi ke rumah, engkau akan kuberi minum dalam gelas yang pernah digunakan minum Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan engkau sholat di masjid yang Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sholat di dalamnya,” ajak Abdulloh ibnu Salam.

Akhirnya saya pergi bersama Abdulloh dan ia memberi saya minum, memberi makan kurma dan sholat di masjid Nabi. (HR. Bukhori)

Coba kita perhatikan sikap Abdulloh Ibn Salam, sebuah sikap yang secara tersirat menunjukkan bahwa tempat yang pernah digunakan Nabi sholat adalah perkara yang istimewa baginya.

b. Sholat Di Tempat Yang Pernah Digunakan Nabi Sholat

Imam Al Bukhori meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung sampai kepada Musa bin ‘Uqbah, ia berkata :
رَأَيْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يَتَحَرَّى أَمَاكِنَ مِنْ الطَّرِيقِ فَيُصَلِّي فِيهَا وَيُحَدِّثُ أَنَّ أَبَاهُكَانَ يُصَلِّي فِيهَا وَأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي تِلْكَ الْأَمْكِنَةِ

Aku pernah melihat Salim bin Abdillah, ia sedang mencari tempat-tempat di tepi jalan, kemudian dia sholat di tempat-tempat tersebut. Salim menceritakan ; bahwa ayahnya (Abdulloh Ibn Umar) pernah sholat di tempat-tempat tersebut, dan beliau pernah melihat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di tempat-tempat tersebut. (HR. Al Bukhori)

Ketika menjelaskan hadits diatas, Al Hafidh Ibnu Hajar menyampaikan hadits lain dengan tema yang sama, kemudian beliau berkata :
فَهُوَ حُجَّةٌ فِي التَّبَرُّكِ بِآثَارِ الصَّالِحِيْنَ

Maka hal tersebut menjadi hujjah (dalil) Tabarruk dengan peninggalan orang-orang sholih. (Fathul Bari, vol. 1 hlm. 569)

c. Tabarruk Dengan Masjid ‘Asysyar

Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad sampai kepada Sholih bin Dirham, ia bercerita :
انْطَلَقْنَا حَاجِّينَ فَإِذَا رَجُلٌ فَقَالَ لَنَا إِلَى جَنْبِكُمْ قَرْيَةٌ يُقَالُ لَهَا الْأُبُلَّةُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ مَنْ يَضْمَنُ لِي مِنْكُمْ أَنْ يُصَلِّيَ لِي فِي مَسْجِدِ الْعَشَّارِ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا وَيَقُولَ هَذِهِ لِأَبِي هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ خَلِيلِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ مِنْ مَسْجِدِ الْعَشَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُهَدَاءَ لَا يَقُومُ مَعَ شُهَدَاءِ بَدْرٍ غَيْرُهُمْ

“Kami pergi melaksanakan haji. Kebetulan kami bertemu seorang lelaki yang berkata kepadaku, “Di dekat kalian ada desa yang disebut Ubullah.”

“Betul,” jawab kami.

“Siapakah di antara kalian yang bisa memberi jaminan kepadaku agar aku bisa disholatkan di masjid ‘Asysyar dua atau empat roka’at ,” lanjutnya.

Sholih ibnu Dirham berkata : “Ini untuk Abu Huroiroh : Saya mendengar orang yang saya cintai, yakni Abul Qosim shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT membangkitkan dari masjid ‘Asysyar pada hari kiamat para syuhada’ yang tidak berdiri bersama para syuhada’ Badar kecuali mereka,” (HR Abu Dawud.)

As Syaikh Abuth Thoyyib penyusun kitab ‘Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud mengatakan : bahwa masjid ‘Asysyar adalah masjid terkenal yang dimintakan berkah dengan sholat di dalamnya. (Aunul Ma’bud vol. XI hlm. 284)

Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitabnya Mafaahim Yajibu An Tushohhah, menuturkan : Dalam kitab Badzlul Majhud syarh Sunan Abi Dawud, Al ‘Allamah Al Kabir As Syaikh Kholil Ahmad As Saharnapuri mengatakan bahwa:
وَفِي الْحَدِيْثِ دِلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الطَّاعَاتِ الْبَدَنِيَّةَ تُوْصِلُ إِلَىالْغَيْرِ أَجْرُهَا، وَأَنَّ مَآثِرَ الْأَوْلِيَاءِ وَالْمُقَرَّبِيْنَ تُزَارُ وَيُتَبَرَّكُ بِهَا

Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah fisik pahalanya bisa disampaikan kepada orang lain, dan bahwa peninggalan-peninggalan para wali dan orang-orang yang dekat dengan Alloh dapat diziarahi dan dimohon keberkahannya.” (Badzlul Majhud Syarah Sunan Abi Dawud, vol. XVII hlm. 225)

d. Tabarruk Dengan Tempat Telapak Kaki Nabi

Imam An Nasai meriwayatkan hadits dengan sanad sampai kepada Abi Mijlaz, ia berkata :
أَنَّ أَبَا مُوسَىكَانَ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَةً أَوْتَرَ بِهَا فَقَرَأَ فِيهَا بِمِائَةِ آيَةٍ مِنْ النِّسَاءِ ثُمَّ قَالَ مَا أَلَوْتُ أَنْ أَضَعَ قَدَمَيَّ حَيْثُ وَضَعَ رَسُولُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَمَيْهِ وَأَنَا أَقْرَأُ بِمَا قَرَأَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Abu Musa berada antara Makkah dan Madinah lalu ia sholat ‘Isya’ dua rokaat kemudian berdiri melaksanakan satu rokaat sholat witir dengan membaca 100 ayat dari surat An Nisaa’. Kemudian ia berkata : “Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan menaruh kedua telapak kakiku pada tempat di mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dulu meletakkan kedua telapak kakinya dan saya membaca apa yang dulu dibaca beliau shollallohu ‘alaihi wasallam.” (HR. An Nasa’i)

e. Imam Syafi’iy Bertabarruk Dengan Kubur Imam Abi Hanifah

Al ‘Allamah As Syaikh Khothib Al Baghdadi menuturkan kisah dengan sanad para perowi yang tsiqqoh (terpercaya) :
عَنْ عَلِي بِنْ مَيْمُوْن قَالَ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ اِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِرًا فَإِذَا عَرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى

Dari Ali bin Maimun, ia berkata : Aku mendengar Imam As Syafi’i berkata : “Sesungguhnya saya senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Aku senantiasa mendatangi makamnya setiap hari untuk berziyarah. Apabila aku mempunyai hajat, aku sholat dua rokaat, lalu aku datangi makamnya, selanjutnya aku meminta kepada Alloh tentang hajatku disisi kuburnya, tidak lama kemudian hajatku terkabul.” (Tarikh Baghdad, vol. 1 hal. 123)

f. Pandangan Ibnu Taimiyah Terhadap Kuburan Orang-Orang Sholih

Dalam penjelasannya tentang praktik menjadikan kuburan sebagai masjid beliau berkata :
وَكَذَلِكَ مَا يُذْكَرُ مِنَ الْكَرَامَاتِ وَخَوَارِقِ الْعَادَاتِ الَّتِي تُوْجَدُ عِنْدَ قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِثْلُ نُزُوْلِ الْأَنْوَارِ وَالْمَلآئِكَةِ عِنْدَهَا وَتَوَقِّي الشَّيَاطِيْنِ وَالْبَهَائِمِ لَهَا وَانْدِفَاعِ النَّارِ عَنْهَا وَعَمَّنْ جَاوَرَهَا وَشَفَاعَةِ بَعْضِهِمْ فِي جِيْرَانِهِ مِنَ الْمَوْتَى وَاسْتِحْبَابِ الْإِنْدِفَانِ عِنْدَ بَعْضِهِمْ وَحُصُوْلِ الْأُنْسِ وَالسَّكِيْنَةِ عِنْدَهَا وَنُزُوْلِ الْعَذَابِ بِمَنْ اِسْتَهَانَ بِهَا فَجِنْسُ هَذَا حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ ، وَمَا فِي قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ كَرَامَةِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ ، وَمَا لَهَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْحُرْمَةِ وَالْكَرَامَةِ فَوْقَ مَا يَتَوَهَّمُهَ أَكْثَرُ الْخَلْقِ ، لَكِنْ لَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ تَفْصِيْلِ ذَلِكَ

Demikian pula kejadian yang disebutkan, tentang karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi di kuburan para nabi dan orang-orang sholih seperti turunnya cahaya dan malaikat di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para nabi dan orang-orang sholih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah benar adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan kami tentang diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang terjadi pada kuburan para nabi dan orang-orang sholih dari kemuliaan dan rahmat Alloh dan apa yang diperoleh di sisi Alloh dari kehormatan dan kemulia-an itu berada di atas anggapan banyak orang. (Iqtidho’us Shirothil Mustaqim, 374)


Sumber: Islam Institute

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More